THINGS I’VE LEARNED FROM MY YOUNGER SELF

October 10, 2021



Satu hal yang pernah saya tanyakan ke diri sendiri saat masih duduk di bangku SMK adalah, “Did I choose the right thing to be here?”

Namanya juga remaja labil usia 15 tahun, belum 100% ngerti apa yang dia mau. Menanyakan hal seperti itu udah biasa banget saya tanyakan tiap waktu. Melihat teman-teman saya lagi enjoy-enjoynya milih peminatan IPA/IPS, saya udah sibuk sama tugas praktik saya selama sekolah. Tiap hari mikir, “besok belajar apa lagi ya?” Did I ever feel insecure when I was in vocational high school? Yes, I did!

Memilih jurusan tata boga bukanlah suatu hal yang mudah. Bukan karena statement ‘oh saya suka makan makanya saya harus belajar masak’ tapi lebih meyakinkan diri sendiri. Sehingga pertanyaan diatas sering saya tanyakan ke diri saya. Sampai akhirnya saya mendapatkan jawaban ketika menonton film Disney Pixar yang berjudul Ratatouille - dimana saya yakin there’s nothing impossible if a woman is able to work in the kitchen with men. Pertanyaan saya akhirnya terjawab, yes I chose the right thing to be here.

Kalau boleh jujur, saya tuh nggak ada skill masak yang advance banget. Masak sop aja saya nggak tau bumbunya apa. Jangankan bumbu, rempah-rempahan aja saya nggak tau namanya apa. Mama saya pun sampai ngajarin saya untuk mengenal berbagai macam rempah. Mama nyuruh saya untuk mencium aroma dan “mencicipi” sedikit demi sedikit. Saya harus tau mana jahe, kunyit, lengkuas, kunci, dan membedakan daun jeruk dan daun salam. Nggak cuma itu aja, mama juga ngajarin kapan saya harus pakai daun jeruk dan kapan harus pakai daun salam. If I wasn’t taught by my mom, I wouldn’t be here. She has made me the woman I am today.

Tantangan terbesar ketika masih SMK adalah saya harus belajar bikin sambal dengan ulekan. Susahnya minta ampun (untuk saya yang newbie ya). Selain belajar mengolah sambal pakai ulekan, saya juga belajar bikin makanan berbahan dasar santan. Saya ingat banget saya bikin opor ayam saat itu. Hasilnya? Gagal total. Santannya pecah, ayamnya masih mentah, bumbu putihnya masih kurang matang, dan tekstur santannya yang udah nggak enak banget untuk dimakan. Sampai sekarang pun, saya akui bahwa saya nggak jago bikin makanan yang berbahan dasar santan. Tapi kalo ngulek, udah bisa dong. Hehe. 😎

Orang-orang selalu beranggapan bahwa anak SMK tuh selalu nggak bisa lanjut kuliah, habis lulus udah pasti kerja, or worst - mereka jadi pengangguran. Katanya anak SMK susah banget dapat jurusan di universitas karena pada akhirnya akan lintas jurusan. Apa iya? Dengan banyaknya kata-kata “katanya” yang bikin telinga saya capek sendiri untuk mendengarkan. In case you didn’t know, saya juga dulu nggak ada bayangan akan lanjut kerja apa kuliah lho. Kalo kerja, kerja apaan? Skill saya hanya sebatas anak magang di salah satu hotel bintang tiga di pusat kota Surabaya. Kuliah? Mau ambil jurusan apa? Kan nggak ada jurusan kuliah culinary arts dengan prodi S1. Saya juga nggak ada gairah untuk belajar SNMPTN/SBMPTN lol (emang bener-bener nggak jelas tujuan hidup saya saat itu, maklumlah saya lagi di fase jadi remaja labil pada umumnya). Tapi di kelas 12 juga, saya dapat jalur undangan karena memiliki nilai rapot yang baik.

Lagipula, kerjaan di Surabaya tuh mengedepankan “look” daripada skill yang kita punya. Saya juga sempat dianggap sebelah mata karena badan saya gendut, wajah kumus-kumus, rambut nggak keurus, nggak bisa belajar make up, dan pokoknya ngeri banget lah lihat penampilan saya dulu. Saya juga nggak ngerti gimana milih skin care yang benar. Saya nggak tau make up apa yang cocok untuk wajah saya. Paling banter, saya cuma bersihin wajah pakai pembersih ** t*l*p tapi wajah saya tetap nggak enak dipandang karena sinar matahari.



Kalian bisa lihat sendiri gimana “menyedihkannya” saya pada saat itu. Saya pengen banget tampil dengan penampilan yang lebih baik. Dengan kondisi tubuh dan wajah saya yang seperti itu, ada salah satu orang yang bilang bahwa saya nggak pantas untuk dapat pasangan yang baik (yah ngetik gini aja bikin keinget trus sedih huehuehuehehe), alasannya karena wajah saya jelek. Hal itu bikin saya berdiri lama di kaca sambil memandangi wajah sendiri. Pada saat itu, saya membenarkan omongan orang itu. Iya ya, bener juga, pikir saya. Udahlah wajah saya nggak good looking gini, nggak tau mau kerja apa kuliah, saya bener-bener hopeless banget.

*nangis dipojok kamar*

Satu cara untuk menghilangkan sedih saya waktu itu adalah saya terus belajar hal yang saya suka. I hated my body and my face so much, even I ask to God if I were born again, I would like to be born as someone who has pretty face. Di kelas 12 sebelum kelulusan, saya berdoa juga sama Tuhan. Saya bilang, “Tuhan, saya pengen deh sekali aja saya bisa mewujudkan mimpi saya untuk ke New York. Tapi ketika saya pergi ke New York, semoga saya udah jadi orang yang lebih baik.”

Tiba-tiba, saya ditawari guru saya untuk ikut test kemampuan bahasa Inggris melalui test TOEIC. Katanya test ini bisa untuk melamar kerja bahkan sampai ke luar negri. Saya pikir, ah paling juga boongan. Ternyata beneran, saya diundang di grup LINE untuk membahas materi dan soal-soal yang akan dibahas. Lah. *langsung panik* Akhirnya saya menyempatkan pergi ke toko buku untuk mencari referensi belajar TOEIC karena… jangankan TOEIC, test TOEFL aja saya nggak tau modelannya kayak apa. Oke deh, coba dulu aja. Pas ngerjain soalnya, ternyata soalnya susah. Oke, saya harus belajar ekstra. Ternyata semakin dipelajari, nggak susah juga. Hanya saja soal-soalnya lumayan tricky, sekali nggak teliti bisa salah banyak.

Apakah pada saat saya ngerjain soal TOEIC saya udah tau mau ngapain setelah lulus? Tentu…. tidak. Lagi-lagi saya nanya ke Tuhan, “Sebenarnya mau saya apa sih, Tuhan? Kok rasanya otak ini buntu banget nggak ada titik terangnya.” Nggak lama setelah saya curhat ke Tuhan, jawaban datang. Ya nggak instan juga, butuh beberapa hari setelahnya. Mama saya nanya ke saya apa saya mau coba daftar di kampus STPBI Bali dengan jurusan tata boga, tapi D3? Info ini juga mama saya dapatkan dari teman arisannya doi. Saya nggak tau kampus STPBI itu dimana dan kayak apa, yaudahlah saya coba cari di internet.

Setelah puas mengulik-ulik halaman websitenya, saya suka sama kampusnya. Bukan karena kampusnya warna biru (yes, blue is my favorite color hehe) trus kuliahnya pakai jas dan seragam khusus, tapi mereka punya program dimana kita bisa berkesempatan untuk pergi ke Amerika Serikat. At that time, I realize God has finally answered my prayers and the universe worked with their magic. Di satu sisi, saya menolak dengan baik tawaran undangan yang sempat saya terima. Lebih baik diberikan kepada orang yang benar-benar butuh, karena saya sudah memilih STPBI. (Tapi sekarang mereka ganti nama jadi IPBI)

Dan disaat itu pula, saya memulai untuk hidup lebih sehat lagi. Sedikit demi sedikit saya mengurangi makanan yang tidak sehat (seperti gorengan contohnya) dan kakak membantu saya untuk mengubah penampilan jadi lebih baik lagi. Saya ingin membenahi tubuh saya - dimana saya mulai dari rambut dulu. Setelah rambut, saya perlahan-lahan mencoba skin care yang sesuai sama kondisi kulit saya. Selain itu, saya lebih berani mencoba make up yang nggak pernah saya pakai sama sekali. Dan tibalah saya untuk memilih Bali untuk membuka lembaran baru.



Jadi, ini adalah foto ketika saya udah masuk kuliah. Kalian bisa lihat perbedaannya ya. Butuh proses, pelan-pelan tapi progressnya terasa. Saya memang suka banget sama make up yang natural, nggak yang aneh-aneh. Saya juga bisa membuktikan stigma masyarakat kalau anak SMK bisa sukses dengan impian mereka. Nggak bisa kuliah? Nggak perlu minder untuk gap year karena anak SMK bisa meraih mimpinya kalau mereka bisa memulai sesuatu dari hal kecil dulu, misalnya bekerja freelance. Anak SMK juga bisa glow up dan menemukan apa yang sebenarnya mereka mau - dengan pilihan mereka sendiri.

Apakah anak-anak SMK yang berakhir harus menikah di usia muda dan tidak kuliah serta kerja itu orang yang gagal? I don’t think so. Mereka hebat dengan segala ke-tidak hebat-an mereka, dan bukan tugas kita untuk menghakimi pilihan yang mereka jalani. Bukannya hidup terasa membosankan kalau kita terus-menerus mendengarkan omongan orang dan menjalani sesuatu berdasarkan standart orang lain? Kenapa kita nggak menciptakan standart hidup untuk diri sendiri?

Kesalnya adalah seringkali saya mendengar omongan teman-teman saya yang nggak pernah yakin kalau mereka bisa meraih mimpi mereka. Pelajaran hidup yang saya pelajari adalah saya tidak boleh nge-down grade mimpi saya sendiri. We deserve it, we really do. Dream is the only way to make you feel alive. Don’t let other underestimate you or your dreams karena kamu pantas dan layak.

Saya nggak akan semudah ini menulis postingan kali ini kalau saya nggak mendapatkan pelajaran itu semua ketika saya masih SMK. Saya nggak mungkin dapat semua pengalaman ini di tempat lain, how to accept and love yourself, how to achieve your goals and dreams, and how to learn that you can’t change your past but you can let go and start your future. Saya juga berterima kasih sama diri saya yang dulu karena sudah melewati semua proses sampai ada di titik ini. Berjuang sama saya sampai akhirnya saya bisa pergi ke USA untuk pertama kalinya…

You Might Also Like

0 comments

Subscribe